Budaya Mapalus di Sulawesi Utara


1.  Budaya Mapalus Budaya Bergotong Royong di Sulawesi Utara 
 


Satu lagi budaya yang saya temukan di Sulawesi Utara, yang penduuduk sekitar namakan budaya Mapalus. Mapalus adalah suatu sistem atau teknik kerjasama untuk kepentingan bersama dalam budaya Suku Minahasa. Mapalus merupakan salah satu tradisi gotong royong yang diwariskan oleh para leluhur dari tanah Toar dan Lumimu’ut yang didasarkan pada falsafah hidup orang Minahasa yaitu “Si Tou Timou Tumou Tou” dan berkaitan erat dengan motto Sulawesi Utara yaitu “Torang Samua Basudara”  yang sampai saat ini tetap ada dan tak akan lekang oleh waktu. Mapalus juga dikenal sebagai local Spirit and local wisdom masyarakat di Minahasa.


Mapalus adalah pengejawantahan atau manifestasi pandangan hidup orang Minahasa yang terwujud sebagai sistem kaidah penata kehidupan dan pemberdayaan individu dan masyarakat warisan leluhur yang memakainya sebagai asas kehidupan kekeluargaan karena merupakan himpunan konsep tingkah laku untuk hidup dan untuk memecahkan persoalan bersama, yang telah dirumuskan dalam Si Tou Timou Tumou Tou.


Mapalus, dari ma, saling, palus, kena atau mendapat giliran (H.M.Taulu). Mapalus, atau saling membantu, merupakan sebuah sistem yang telah ada sejak dahulu kala dan berasal dari azas hidup kekeluargaan, sebagai peninggalan suatu usaha kesatuan keluarga dari zaman nenek moyang, tetapi yang menghilang karena orang mulai mementingkan diri sendiri atau sebab lain (N.Graafland). Mapalus merupakan ungkapan pandangan hidup orang Minahasa yang bukan hanya sekedar tolong-menolong atau gorong-royong (H.A.R.Tilaar).



Dalam arti sempit, mapalus mengandung konsep :
(a) kesediaan individu untuk bekerjasama dalam organisasi sukarela demi tujuan bersama, dan
(b) bentuk organisasi kerja.

Dalam arti luas, mapalus merupakan :

(a) lembaga sosial yang berprinsip ekonomis yang mempengaruhi kehidupan orang Minahasa, dan
(b) suatu konsep tingkah laku dalam memecahkan persoalan bersama. Inilah nilai hidup komunitas orang Minahasa yang tertinggi.
 



Pada awalnya mapalus dilakukan khusus pada kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan bidang pertanian, mulai dari membuka lahan sampai memetik hasil atau panen. Tetapi seiring dengan perkembannganya Budaya Mapalus tidak hanya terbatas di bidang pertanian, melainkan juga diterapkan dalam setiap kegiatan yang bersifat sosial kemasyarakatan, dan hampir di segala bidang kehidupan, seperti dalam kegiatan-kegiatan upacara adat, mendirikan rumah, membuat perahu, perkawinan, kematian, dan sebagainya. yang pastinya , kegiatan ini dilakukan secara bersama", alias gotong royong.


Mapalus adalah hakekat dasar dan aktivitas kehidupan orang Minahasa (Manado) yang terpanggil dengan ketulusan hati nurani yang mendasar dan mendalam (touching hearts) dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab menjadikan manusia dan kelompoknya (teaching mind) untuk saling menghidupkan dan mensejahterakan setiap orang dan kelompok dalam komunitasnya (transforming life).


Menurut buku, The Mapalus Way, mapalus sebagai sebuah sistem kerja memiliki nilai-nilai etos seperti, etos resiprokal, etos partisipatif, solidaritas, responsibilitas, gotong royong, good leadership, disiplin, transparansi, kesetaraan, dan trust.


Seiring dengan berkembangnya fungsi-fungsi organisasi sosial yang menerapkan kegiatan-kegiatan dengan asas mapalus, saat ini, mapalus juga sering digunakan sebagai asas dari suatu organisasi kemasyarakatan di Minahasa.


Mapalus berasaskan kekeluargaan, keagamaan, dan persatuan dan kesatuan. Bentuk-bentuk mapalus, antara lain :


  • Mapalus tani.
  • Mapalus nelayan.
  • Mapalus uang.
  • Mapalus bantuan duka dan perkawinan; dan,
  • Mapalus kelompok masyarakat.


Dalam penerapannya, mapalus berfungsi sebagai daya tangkal bagi resesi ekonomi dunia, sarana untuk memotivasi dan memobilisasi manusia bagi pemantapan pembangunan, dan merupakan sarana pembinaan semangat kerja produktif untuk keberhasilan operasi mandiri, mis: program intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian.


Prinsip solidaritas yang tercermin dalam mapalus terefleksi dalam perekonomian masyarakat di Minahasa, yaitu dikenalkannya prinsip ekonomi Tamber.


Prinsip ekonomi tamber merujuk pada suatu kegiatan untuk memberikan sesuatu kepada orang lain, atau warga sewanua (sekampung) secara sukarela dan cuma-cuma, tanpa menghitung-hitung atau mengharapkan balas jasa.


Prinsip ekonomi tamber berasaskan kekeluargaan. Dari segi motivasi adat, prinsip ini mengandung suatu makna perekat kultural (cagar budaya) yang mengungkapkan juga kepedulian sosial, bahkan indikator keakraban sosial.


Faktor kultural prinsip ekonomi tamber berdasarkan keadaan alam Minahasa yang subur dan berlimpah, dan tipikal orang Minahasa yang cenderung rajin dan murah hati.





Dengan adanya mapalus membuat masyarakat minahasa menjadi lebih bersaudara satu dengan yang lain tanpa memandang suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Oleh karena itu kita sebagai orang muda, mari kita tetap menjaga dan mempertahankan Budaya yang diwariskan oleh leluhur kita.






       2. Keunikan Budaya Mapalus di Minahasa Sulawesi Utara

Keunikan mapalus, sebagai sifat khas Minahasa, adalah kristalisasi nilai-nilai hidup orang Minahasa, yang telah dirumuskan  oleh Dr.(Matematika) Sam Ratulangie dalam Si Tou Timou Tumou Tou. Inilah akar budaya Minahasa yang dikandung dalam konsep Mapalus, yang juga menjadi akar motivasi untuk maju dari orang Minahasa (N.S. Kalangie).

Si Tou Timou Tumou Tou berarti seorang manusia, si tou, menjadi manusia sejati, timou, jika ia memanusiakan, tumou,  manusia ciptaan Tuhan yang lain, tou. Sitou Timou Tumou Tou adalah konsepsi tentang orientasi nilai budaya Minahasa, sebagai suatu premis atau dasar pikiran kultur, yang berhubungan dengan hal-hal berikut. Pertama, asas egaliter, kesederajatan, dalam status sosial, yaitu tidak adanya kelas sosial atau feodalisme, dalam hak dan kewajiban, dalam gender, yaitu kesamaan status antara laki-laki dan perempuan. Kedua, asas resiprositas atau timbal-balik, dalam maesa-esaan, maleo-leosan, dan masawa-sawangan. Maesa-esaan, bersatu, adalah upaya dengan niat luhur mencapai tujuan bersama sehingga terwujudlah kesatuan dan persatuan warga Mianahasa. Maleo-leosan, sayang-menyayangi,  adalah upaya saling menunjukkan perbuatan yang baik di antara sesama warga Minahasa, dan sesama manusia, sehingga terwujudlah suasana harmonis, damai, sentosa, saling mengunjungi untuk memperkuat ikatan batin, dalam penghayatan akan eksistensi Pencipta alam raya ini. Masawa-sawangan, bekerjasama, adalah upaya tolong-menolong dengan iktikad yang murni, luhur tanpa mengharapkan imbalan berupa apa pun juga.

Ungkapan Si Tou Timou Tumou Tou memperlihatkan bahwa orang Minahasa itu lahir untuk berkarya bagi dirinya, bagi orang lain, dan bagi “Yang Maha Mengetahui”. Apakah yang mesti dilakukan untuk mewujudkan prinsip ini? Pertama, karya Timou, memanusiakan diri sendiri, mengembangkan dan meningkatkan segala potensi yang ada dalam diri seseorang, sebelum tugas Tumou, memanusiakan orang lain. Hukum Adat Minahasa dan hukum Negara, memberi hak, bahkan dihayati sebagai kewajiban, untuk melakukan tugas Timou, membina diri, dengan mengembangkan kemampuan pribadi, misalnya menuntut ilmu pengetahuan sebanyak dan setinggi mungkin, melakukan tugas setekun mungkin, menjalankan bisnis secermat mungkin, meningkatkan kompetensi dan profesionalisme seideal mungkin. Kedua, karya Tumou. Ada banyak jalan yang bisa ditempuh, dan banyak cara yang bisa diaplikasikan. Petunjuknya yaitu pandanglah ke masa depan demi inovasi dan kreatifitas, dan pandanglah ke belakang memanfaatkan pengalaman positif dan negatif, dan pandanglah ke sekelilingmu guna mengasihi orang lain dan luwes ketika bergaul, dan pandanglah ke atas guna menyerahkan seluruh pelaksanaan kinerja itu kepada Tuhan, yang akan menyempurnakan kinerja itu.

Prinsip Si Tou Timou Tumou Tou itu, sebagai keunikan mapalus, lahir dari inner world pribadi orang Minahasa, yaitu kasih. Kalau bukan kasih, tidak akan ada karya timou dan karya tumou. Dari sudut pandang budaya Minahasa, seseorang dipandang berhasil dalam hidup ini kalau ia sudah melakukan tugas Timou dan tugas Tumou. Maka akan muncullah ucapan “Si sei reen”, “Rupanya dialah orang Minahasa yang berprestasi dan berprestise itu.” Ada kalanya seseorang, Sii Tou, hanya berhasil dalam karya Timou, tetapi belum berhasil dalam karya Tumou Tou. Kinerja Tumou tidak sesederhana wacananya, karena memerlukan daya ilahi pelengkap daya insani. Lagi pula, banyak kendala dan tantangannya yang mesti diatasi.

Aktualisasi diri orang Minahasa dalam tugas timou tampak dalam persaingan guna meningkatkan bobot pribadi. Dalam tugas tumou mereka tampak banyak bicara dan banyak berbuat. Ada prestasi ‘aku’ dalam kebersamaan. Di sini, ‘aku’ tanpa sesama akan meniadakan ‘aku’.Aku hanya berarti karena ada sesama; hubungan aku – kita. ‘Aku’ tidak lebur dalam sesama. Orang Minahasa memperlihatkan juga sifat dan sikap demokratis, seperti yang terwujud dalam suka berkumpul dan mempersatukan diri, dalam musyawarah, dalam mengambil keputusan dan dalam cara memimpin. Musyawarah merupakan suatu sendi kehidupan masyarakat Minahasa. Orang yang dihormati dalam pengambilan keputusan ialah orang tua dan para cerdik pandai. Sifat yang terpuji adalah tenggang-menenggang. Sikap yang terpuji adalah “ambil jalan tengah” dan “jangan lupa Yang Mengetahui”. Tentu akan ada saja orang yang pandai tetapi tidak cerdas. Ia belum bisa menerapkan ilmu pengetahuan dan pengalaman yang dipunyainya secara “the right place, the right time, the right way dan the right intention, atau yang suka dan sudi memaksakan kehendaknya kepada pihak lain. Ini berarti bahwa kinerja Timou orang itu belum tuntas. Memang, Timou adalah proses yang berlangsung seumur hidup orang. Begitu pun Tumou. Sejarahlah yang  akan mengujinya.

Stereotip atau bentuk tetap dan khas orang Minahasa adalah sifat terbuka (Tilaar). Sifat terbuka ini menimbulkan kesan agak sombong, suka pamer, dangkal, namun ada rasa ke-kita-an yang kental, suka bicara, vokal, suka pesta pora, yang menjurus pada hidup materialistis dan ‘hidup untuk hari ini.’ Itu gejala yang tampak dari luar. Ke dalam, ada sifat dinamis dalam hubungan timbal-balik antara pemimpin dan yang dipimpin. Dengan prinsip bahwa setiap orang bisa dan boleh berprestasi seperti apa yang dicapai oleh orang lain, timbullah persaingan yang tidak sehat dalam bentuk ‘baku cungkel’, saling mendongkel, yang didorong oleh sifat yang bermutu rendah, karena kehabisan akal sehat. Pada hakikatnya, ‘baku cungkel’ menandakan adanya kekurangan dalam usaha Timou seseorang. Kekurangan dalam kepribadian.
Keluhuran budi orang Minahasa tampak juga dalam sifat lemah lembut, rendah hati, dan sabar, tetapi yang masih perlu ditingkatkan. Sikap boleh keras, tetapi sifat hendaknya lembut. Ia sadar akan kuasa Yang Maha Mengetahui. Ia bersedia menanggung kerugian tanpa dendam atau menuduh orang lain. Ia mau diatur ke arah kebaikan. Ia tidak menaruh dendam kepada orang yang bertindak kasar kepadanya. Ia membalas kejahatan dengan kebaikan. Ia tidak tawar hati ketika mengalami kemalangan, kekurangan atau kehilangan, sebab segala keadaan itu dihayati sebagai jalan, kehendak Yang Maha Mengetahui. Wataknya dapat meredakan kegeraman orang lain. Ia berani menghadapi orang lalim tanpa membalas sepatah kata pun guna membela diri. Ia memiliki hak istimewa tetapi ia tidak mau memakai hak itu. Ia rela menderita. Ia tidak berpura-pura rendah hati. Ia adalah orang yang bertanggungjawab. Dengan demikian, makin sempurnalah usaha Timou dan usaha Tumou seseorang. Inti keluhuran budi ini adalah kasih. Ia mengasihi dirinya sendiri sehingga besarlah kerja Timou-nya. Ia mengasihi orang lain sehingga besarlah kerja Tumou-nya. Ia mengasihi “Yang Maha Mengetahui” yang memampukan dia melaksanakan tugas Timou dan tugas Tumou. 




       3. Nilai-Nilai Sejarah Budaya Mapalus



Mapalus sebagai sebuah sistem kerja yang memiliki nilai-nilai etos seperti, etos resiprokal, etos partisipatif, solidaritas, responsibilitas, gotong royong, good leadership, disiplin, transparansi, kesetaraan, dan trust (kepercayaan).



            1.      Etos Resiprokal


Masyarakat Kota Tomohon sama seperti masyarakat Minahasa pada umumnya memiliki adat istiadat dan budaya yang dikenal dengan sebutan Mapalus. Budaya Mapalus atau bekerja bersama dan saling bantu ini telah berakar dan membudaya di kalangan masyarakat Minahasa. Budaya tersebut sampai saat ini masih terjaga dan terpelihara. Pada kehidupan sehari-hari masih bisa dirasakan sikap suka membantu dan bekerjasama. Kecuali beberapa kegiatan yang merupakan rangkaian dari Mapalus seperti memakai alat tiup ketika mengajak kelompok untuk ber-Mapalus sudah mulai hilang. Perlahan keaslian mulai terkikis dengan modernisasi.



             2.      Etos Parsitipatif


adalah suatu keterlibatan mental dan emosi seseorang kepada pencapaian tujuan dan ikut bertanggung jawab di dalamnya. Dan  dimana orang diikutsertakan dalam suatu perencanaan serta dalam pelaksanaan dan juga ikut memikul tanggung jawab sesuai dengan tingkat kematangan dan tingkat kewajibannya.





             3.      Solidaritas


Solidaritas adalah rasa kebersamaan,rasa kesatuan kepentingan, rasa simpati, sebagai salah satu anggota dari kelas yang sama.
atau bisa di artikan perasaan atau ungkapan dalam sebuah kelompok yang dibentuk oleh kepentingan bersama.



             4.      Gotong Royong


melakukan pekerjaan bersama-sama, saling menolong, bantu membantu, untuk kemudian menikmati hasil pekerjaan itu bersama-sama pula.





             5.      Good Leadership     


kemampuan seorang pemimpin untuk mengenali waktu dan kebutuhan untuk melakukan perubahan, mengidentifikasikan arah perubahan, mengkomunikasikan strategi perubahan kepada orang-orang yang di dalam organisasi terutama yang mendukung terjadinya perubahan dan meberdayakan mereka untuk melakukan perubahan dan memfasilitasi upaya pencapaian tujuan perubahan.




       4.  Budaya Mapalus Masih di Letarikan



Dan hingga saat ini kebudayaan mapalus ini maih di lestarikan dan masih terjaga di kalangan m syarakat Minahasa bahkan masyarakat nya merasa selalu tertolong dan menjadi lebih bersaudara satu dengan yang lain tanpa memandang suku, agama, ras dan antargolongan (SARA). Oleh karena itu kita sebagai orang muda, mari kita tetap menjaga dan mempertahankan Budaya yang diwariskan oleh leluhur kita. “Kalau Bukan Kita, Siapa Lagi ?



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Politik dan Strategi Nasional

Reproduksi Budaya (Pemaknaan Ulang Budaya)

Memperkenalkan Kebudayaan ke Luar Negeri